Pertanyaan yang sering timbul ketika seseorang masuk masjid di waktu shalat adalah mengapa masjid kosong?
Apakah hal itu karena jama’ah malas ke masjid dan memilih sholat di
rumah? Apakah umat telah mengalami degradasi? Atau apakah karena
pengurus masjid tidak kreatif sehingga jama’ah merasa malas untuk
menunaikan ibadah? Atau kah ada faktor lain?
Ada beberapa faktor yang selama ini kurang diperhatikan pengurus
masjid sehingga secara tidak langsung membuat umat atau jama’ahnya tidak
betah.
Berikut adalah Panduan Mengelola Masjid. Semoga dengan panduan ini,
masjid anda menjadi semakin ramai jamaahnya, dan semoga memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi jamaah lingkungan sekitar masjid,
Amien.
Lembaga Afiliasi
Masalah mendasar adalah tanggung jawab dalam kepengurusan masjid.
Banyak masjid yang dibangun oleh swadaya masyarakat sendiri. Misalnya
sebuah RT berusaha mengumpulkan dana lalu membangun masjid di RT mereka.
Tujuan utamanya mungkin adalah agar jarak dan waktu menuju masjid dapat
dipersingkat.
Hal ini sangat bagus. Ada kemandirian masyarakat. Namun sistem
pembangunan seperti ini ada hal negatifnya. Ketiadaan induk dan afiliasi
masjid secara nasional mempunyai potensi penyimpangan fungsi masjid
tersebut, karena tidak adanya kontrol.
Penyelesaiannya, sebuah masjid yang telah dibangun seharusnya
melaporkan diri ke pihak yang berwenang/organisasi kompeten seperti MUI,
NU, atau lainnya. Lembaga inilah yang akan membimbing pengelola masjid.
Pembinaan dan standarisasi keilmuwan pengurusnya akan dapat dilakukan,
misal menghitung zakat, kemampuan imam, khatib dan berbagai pengetahuan
lainnya.
Lembaga tersebut juga akan selalu melakuan audit, pelatihan berkala
dan berbagai program pembinaan lainnya sehingga kepengurusan masjid
menjadi akuntable dan bertanggung jawab.
Struktur Organisasi
Masjid seharusnya dikelola oleh tim pengelola (badan wakaf atau
semacamnya) yang independen dan profesional, serta dapat dikontrol oleh
lembaga-lembaga afiliasi tersebut di atas. Selain meringankan kerja
pewakaf/pendiri masjid, hal ini untuk menjaga ke-istiqamah-an masjid
seandainya pendiri masjid telah meninggal.
Ketika seseorang mewakafkan sebuah masjid, hendaknya dibentuk sebuah
badan wakaf sebagai pengelolanya. Anggota tim pengelola harus dipilih
secara hati-hati, dengan melihat aspek-aspek keilmuwan, kemapanan,
kepemimpinan, dan latar belakangnya, karena tim ini yang menentukan arah
dan perkembangan masjid (GBHN-nya masjid). Tim tidak usah terlalu
banyak, namun jangan terlalu sedikit. Seperti pengorganisasian Wali
Songo, ketika ada anggota tim yang meninggal dunia, sebaiknya
cepat-cepat dicari/ditunjuk penggantinya.
Tim Pengelola ini kemudian menunjuk takmir masjid sebagai pengurus
hariannya. Tim pengelola (Badan wakaf) tidak perlu bekerja secara full,
cukup hanya memantau/mengontrol saja. Sedangkan keseharian kegiatan
masjid diselenggarakan oleh takmir, yang dibentuk oleh tim pengelola
tersebut.
Antara tim pengelola dan takmir harus melakukan pertemuan secara
berkala, walaupun tidak perlu terlalu sering. Ini dilakukan untuk
kontrol, evaluasi kerja, dan penyamaan/penyegaran (kembali) persepsi
GBHN masjid. Tim pengelola berhak memecat atau mengganti takmir ketika
diketahui ada penyelewengan.
Hubungan antara tim pengelola dan takmir masjid seperti hubungan MPR
dengan Presiden. Atau antara Syuriyah dengan Tanfidiyah. Kalau di dunia
bisnis, seperti hubungan antara Komite (pemilik saham) dengan Direktur
Utama.
Peningkatan Mutu SDM Takmir
Sumber daya manusia yang paling menentukan di dalam kepengurusan
sehari-hari sebuah masjid adalah takmir masjid, dan pasti imam masjid.
Untuk itulah perlu kegiatan peningkatan mutu SDM. Kegiatan ini harus
berkala dan terus-menerus.
Prioritas utama adalah takmir masjid dan imam, baru diikuti tim
pengelola dan lain-lain. Kenapa prioritas utama adalah takmir? Karena
dia (mereka) lah yang menjalankan mandat kegiatan sehari-hari masjid.
Sehingga mereka pasti harus mengetahui ilmunya terlebih dahulu.
Sedangkan imam, pasti dia harus menguasai ilmu-ilmu terutama shalat,
dan lain-lainnya. Imam biasanya adalah juga takmir masjid. Namun di
banyak masjid, ada imam yang pasif dalam kepengurusan rutin. Dalam
kondisi demikian, antara imam dan takmir harus dibedakan. Imam adalah
tim pengelola, sedangkan takmir adalah pengurus harian.
Hal-hal ilmu-ilmu mendasar merupakan prioritas yang harus dikuasai.
Ilmu-ilmu yang menyangkut rukun islam (syahadat, shalat, puasa, zakat,
dan haji) mutlak harus dikuasai, prioritas sesuai urutan. Shalat tentu
saja shalat wajib, termasuk shalat jenazah. Diikuti penguasaan shalat
sunnah. Zakat yang pasti harus dikuasai adalah zakat fitrah, kemudian
zakat harta, sesuai dengan kondisi masyarakat sekitar masjid. Baru
setelah itu ilmu-ilmu yang lain menyusul.
Kegiatan peningkatan mutu SDM ini harus berkala dan terus-menerus.
Minimal bulanan (selapanan). Mingguan lebih baik, apalagi harian. Jika
di lingkungan intern masjid tidak ada guru yang mumpuni, guru perlu
diambilkan dari lembaga afiliasi di atas. Sangat baik jika ada pengurus
masjid yang di utus untuk menimba ilmu secara khusus, seperti dikirim ke
pesantren/pelatihan ilmu dalam jangka waktu tertentu, kemudian pulang
menularkan ilmunya tersebut.
Kegiatan peningkatan mutu SDM pengurus masjid ini adalah kegiatan minimal
yang dilakukan oleh sebuah masjid. Tanpa itu, masjid akan mati dengan
sendirinya begitu pendiri atau takmir masjid meninggal dunia.
Majelis Taklim ke Masyarakat
Dia antara fungsi masjid pada zaman Rasulullah saw ialah: Tempat
ibadat, terutama sembahyang berjemaah. Tempat pembentukan peribadi umat
Islam atau dalam erti kata lain masjid adalah pusat pendidikan Islam.
Pusat perkembangan ilmu pengetahuan kerana masjid tempat ilmu
pengetahuan disampaikan baik dalam bidang akidah, syariat dan akhlak.
Tempat wahyu diturunkan dan sebagai tempat wahyu disampaikan kepada
sahabat. Pusat kegiatan sosial dan kehakiman dalam perkara yang
berkaitan dengan nikah kawin dan penyelesaian masalah umat Islam. Tempat
letaknya Baitulmal negara.
Ringkasnya, sebuah masjid mempunyai fungsi sebagai pusat peribadatan
dan sebagai penerang masyarakat. Saat ini ada kecenderungan bahwa masjid
hanya digunakan sebagai pusat peribadatan saja (shalat jum’at, shalat
berjamaah, dll). Sedangkan fungsi-fungsi lain cenderung ditunggalkan.
Dengan tidak meninggalkan masjid sebagai pusat sembahyang berjamaah,
sebuah masjid seharusnya lah juga berfungsi untuk mendidik masyarakat
(menerangi masyarakat dari kebodohan). Untuk itu taklim-taklim /
pengajian-pengajian perlu digalakkan lagi secara kontinyu.
Majelis taklim untuk umum sebaiknya dilakukan berkala. Mingguan atau
bulanan (selapanan). Selain itu, boleh juga ada pemisahan gender
misalnya, pengajian ibu-ibu, bapak-bapak, pemuda, remaja putri, dlsb.
Itu semua sangat baik dilakukan secara berkala. Semua harus terpusat ke
masjid dengan tidak menafikan seandainya sekali-kali dilaksanakan di
rumah warga.
Jangan lupa mengadakan majelis dzikir atau melakukan dzikir bersama jamaah di dalam taklim-taklim tersebut.
Anak-anak dan TPA
Ada pun untuk anak-anak dan pra remaja, maka ini perlu perhatian
khusus dari takmir masjid. Majelis ilmu untuk adik-adik ini harus
mendapat prioritas. Sebab tanpa mereka dengan ilmu agama, maka masa
depan islam akan runtuh. Amal jariyah anda akan putus.
Anak-anak ini harus difasilitasi dengan TPA (Taman Pendidikan Al
Qur’an) dan sejenisnya. Metode Iqra’ sebagi contoh metode TPA yang baik
sekali untuk dipakai. 2 3 atau 4 kali seminggu sudah bagus. Ini seperti
kelas sore khusus al Qur’an dan ilmu agama dasar lainnya.Ada pembagian
klas. Dan ada target untuk lulus level sekian pada setiap klas, dalam
jangka waktu tertentu. Akhirnya siswa dinyatakan lulus setelah khatam
al Qur’an dan ilmu-ilmu dasar lainnya di klas tertinggi.
Ditekankan bahwa anak-anak harus lulus TPA pada saat klas 6 SD (atau
bersamaan dengan lulus SD). Karena begitu anak-anak masuk sekolah SMP,
waktu mereka sudah tersita lebih banyak di luar. Sekolahnya mungkin
tidak di dekat rumah lagi. Ada banyak kegiatan ekstra dari sekolah, Les,
dll. Sehingga akan lebih banyak kegiatan lain yang menghambatnya
mengikuti TPA (seandainya belum tamat TPA). Untuk itu kelulusan TPA,
yang dilihat dari khatam al Qur’an dan ilmu-ilmu dasar agama, mutlak
harus pada usia SD.
Kemudian, masjid dengan takmir/pengelola atau ulama yang mempunyai
ilmu lebih, maka sebaiknya ada kegiatan pengajian kitab-kitab lanjut.
Ini pun perlu dilakukan secara terstruktur, dengan tingkatan-tingkatan,
dengan klas-klas. Dapat dilakukan dengan mengundang guru dari luar
(lembaga afiliasi) secara teratur jika ada anggaran keuangan berlebih.
Sehingga ilmu yang dipunyai para alim tidak hilang musnah ditelan zaman.
Kepekaan Sosial
Selain kegiatan-kegiatan di atas, pengurus masjid harus tanggap terhadap
kondisi sosial yang terjadi di masyarakat. Kendala-kendala maupaun
masalah-masalah sosial yang dialami warga sekitarnya. Misalnya
kelaparan, musibah, kesusahan, sakit jiwa, kefakiran, deviasi sosial,
kenakalan remaja, musafir (pendatang yang kesusahan), ketiadaan air, ibn
sabil dan lain sebagainya. Masijd melalui pengurusnya harus bertindak
sebagai, pengayom, pencegah, pengobat dan konseling.
Dalam hal peristiwa-peristiwa besar, pengurus masjid perlu bekerja
sama dengan lembaga-lembaga afiliasi di atasnya, dengan organisasi
terkait lain, ataupun dengan pemerintah.
Wallahu a’lam.