--SELAMAT DATANG DI BLOG MASJID AL-IKHLASH JATEN ARGOSARI SEDAYU BANTUL--

Minggu, 10 November 2013


IDUL QURBAN


Obat Ketika Mendapat Musibah




Nasehat Ibnul Qayyim berikut bisa mengobati kita ketika dirundung musibah. Hal-hal berikut yang patut jadi renungan.
  1. Renungkanlah bahwa manusia dan hartanya semuanya milik Allah, semuanya hanya titipan di sisi kita.
  2. Setiap orang akan kembali pada Allah dan akan meninggalkan dunia.
  3. Allah akan memberi yang semisal dan yang lebih baik bagi yang telah hilang.
  4. Ingatlah bahwa mengeluh dan menggerutu hanya menambah derita, bukan menghilangkan musibah.
  5. Jika mau bersabar dan yakin semuanya kembali pada Allah, maka itu lebih besar pahalanya dibanding dengan tidak sabar.
  6. Berkeluh kesah hanya membuat musuh kita senang dan membuat Allah murka.
  7. Sabar dan mengharap pahala itu lebih besar ganjarannya daripada mengharap yang telah hilang itu kembali.
  8. Jika kita ridho terhadap musibah, Allah pun senang dengan sikap kita. Sebaliknya jika kita benci, Allah pun akan murka.
  9. Ketahuilah bahwa Allah yang menurunkan musibah Maha Hakim dengan hikmah yang ia beri, Penuh Rahmat dengan kasih sayang yang ia beri. Allah tidaklah menimpakan cobaan untuk membinasakan hamba, bahkan untuk menguji seberapa kuat imannya.
  10. Musibah itu datang untuk menhindarkan diri kita dari penyakit jelek yaitu ujub dan sombong.
  11. Ingatlah bahwa mending merasakan pahit di dunia namun dapat merasakan lezatnya kehidupan akhirat.
Diringkas dari penjelasan Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’ad, penjelasan tentang petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mengobati musibah.
Semoga hal-hal di atas menjadi obat. Hanya Allah yang mendatangkan kemudahan.

Referensi: Mukhtashor Zaadul Ma’ad, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan keempat, 1429 H, hal. 265-267.

Rabu, 16 Oktober 2013

Mengamalkan Tauhid dengan Sebenarnya dapat Menyebabkan Masuk Sorga Tanpa Hisab

Mengamalkan Tauhid dengan Sebenarnya dapat Menyebabkan Masuk Sorga Tanpa Hisab

Firman Allah Subhanahu wata’ala :
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif (berpegang teguh pada kebenaran), dan sekali kali ia bukanlah termasuk orang orang yang mempersekutukan (Tuhan)” (QS, An Nahl, 120)
“Dan orang orang yang tidak mempersekutukan dengan Robb mereka (sesuatu apapun)”. (QS. Al Mu’minun, 59)
Husain bin Abdurrahman berkata: “Suatu ketika aku berada di sisi Said bin Zubair, lalu ia bertanya : “siapa diantara kalian melihat bintang yang jatuh semalam ?, kemudian aku menjawab : “ aku ”, kemudian kataku : “ ketahuilah, sesungguhnya aku ketika itu tidak sedang melaksanakan sholat, karena aku disengat kalajengking”, lalu ia bertanya kepadaku : “lalu apa yang kau lakukan ?”, aku menjawab : “aku minta di ruqyah ([1])”, ia bertanya lagi : “apa yang mendorong kamu melakukan hal itu ?”, aku menjawab : “yaitu : sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Asy Sya’by kepada kami”, ia bertanya lagi : “dan apakah hadits yang dituturkan kepadamu itu ?”, aku menjawab : “dia menuturkan hadits kepada kami dari Buraidah bin Hushaib :
“Tidak boleh Ruqyah kecuali karena ain([2]) atau terkena sengatan”.
Said pun berkata : “sungguh telah berbuat baik orang yang telah mengamalkan apa yang telah didengarnya, tetapi Ibnu Abbas menuturkan hadits kepada kami dari Rasulullah, beliau bersabda :
“Telah diperlihatkan kepadaku beberapa umat, lalu aku melihat seorang Nabi, bersamanya sekelompok orang, dan seorang Nabi, bersamanya satu dan dua orang saja, dan Nabi yang lain lagi tanpa ada seorangpun yang menyertainya, tiba tiba diperlihatkan kepadaku sekelompok orang yang banyak jumlahnya, aku mengira bahwa mereka itu umatku, tetapi dikatakan kepadaku : bahwa mereka itu adalah Musa dan kaumnya, tiba tiba aku melihat lagi sekelompok orang yang lain yang jumlahnya sangat besar, maka dikatakan kepadaku : mereka itu adalah umatmu, dan bersama mereka ada 70.000 (tujuh puluh ribu) orang  yang masuk sorga tanpa hisab dan tanpa disiksa lebih dahulu, kemudian beliau bangkit dan masuk ke dalam rumahnya, maka orang orang pun memperbincangkan tentang siapakah mereka itu ?, ada diantara mereka yang berkata : barangkali mereka itu orang orang yang telah menyertai Nabi dalam hidupnya, dan ada lagi yang berkata : barang kali mereka itu orang orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam hingga tidak pernah menyekutukan Allah dengan sesuatupun, dan yang lainnya menyebutkan yang lain pula.
Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam keluar dan merekapun memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Maka beliau bersabda : “Mereka itu adalah orang-orang yang tidak pernah minta ruqyah, tidak melakukan tathoyyur ([3]) dan tidak pernah meminta lukanya ditempeli besi yang dipanaskan, dan mereka pun bertawakkal kepada tuhan mereka, kemudian Ukasyah bin Muhshon berdiri dan berkata : mohonkanlah kepada Allah  agar aku termasuk golongan mereka, kemudian Rasul bersabda : “ya, engkau termasuk golongan mereka”, kemudian seseorang yang lain berdiri juga dan berkata : mohonkanlah kepada Allah  agar aku juga termasuk golongan mereka, Rasul menjawab : “Kamu sudah kedahuluan Ukasyah” (HR. Bukhori & Muslim)

Kandungan  bab ini :

1.  Mengetahui adanya tingkatan tingkatan manusia dalam bertauhid.
2.  Pengertian mengamalkan tauhid dengan semurni-murninya.
3.  Pujian Allah kepada Nabi Ibrahim, karena beliau tidak pernah melakukan kemusyrikan.
4.  Pujian Allah kepada tokoh para wali Allah (para shahabat Rasulullah) karena bersihnya diri mereka dari kemusyrikan.
5. Tidak meminta ruqyah, tidak meminta supaya lukanya ditempeli  dengan besi yang panas, dan tidak melakukan tathoyyur adalah termasuk pengamalan tauhid yang murni.
6.  Tawakkal kepada Allah adalah sifat yang mendasari sikap tersebut.
7.  Dalamnya ilmu para sahabat, karena mereka mengetahui bahwa orang-orang yang dinyatakan dalam hadits tersebut  tidak akan mendapatkan kedudukan yang demikian tinggi kecuali dengan adanya pengamalan.
8.  Semangatnya para sahabat untuk berlomba-lomba dalam mengerjakan amal kebaikan.
9.  Keistimewaan umat Islam dengan kwantitas dan kwalitasnya.
10. Keutamaan para pengikut Nabi Musa.
11. Umat umat terdahulu telah ditampakkan kepada Nabi Muhammad.
12. Setiap umat dikumpulkan sendiri-sendiri bersama para Nabinya.
13. Sedikitnya orang-orang yang mengikuti ajakan para Nabi.
14. Nabi yang tidak mempunyai pengikut akan datang sendirian pada hari kiamat.
15. Manfaat dari pengetahuan ini adalah tidak silau dengan jumlah yang banyak dan tidak kecil hati dengan jumlah yang sedikit.
16. Diperbolehkan melakukan ruqyah disebabkan terkena ain dan sengatan.
17. Luasnya ilmu para ulama salaf, hal itu bisa diketahui dari ucapan Said bin Zubair : “Sungguh telah berbuat baik orang  yang  mengamalkan apa yang telah didengarnya, tetapi …”, dengan demikian jelaslah  bahwa hadits yang pertama tidak bertentangan dengan hadits yang kedua.
18. Kemuliaan sifat para ulama salaf, karena ketulusan hati mereka, dan mereka tidak memuji seseorang dengan pujian yang dibuat buat.
19. Sabda Nabi : “Engkau termasuk golongan mereka” adalah salah satu dari tanda-tanda kenabian Beliau.
20. Keutamaan Ukasyah.
21. Penggunaan kata sindiran ([4]).
22. Kemuliaan akhlak Nabi Muhammad.
———————————————
([1])    Ruqyah, maksudnya di sini, ialah : penyembuhan dengan bacaan ayat-ayat Al qur’an atau doa-doa.
([2])  Ain, yaitu : pengaruh jahat yang disebabkan oleh rasa dengki seseorang, melalui pandangan matanya. Disebut juga penyakit mata.
([3])  Tathoyyur ialah : merasa pesimis, merasa bernasib sial, atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya atau apa saja.
([4])  Karena beliau bersabda kepada seseorang : “Kamu sudah kedahuluan Ukasyah”, dan tidak bersabda kepadanya : “Kamu tidak pantas untuk dimasukkan ke dalam golongan mereka”.

Pentingnya Akidah Islamiyah

Pentingnya Akidah Islamiyah

Sesungguhnya agama Islam adalah akidah dan syariah. Adapun yang dimaksud dengan akidah yaitu setiap perkara yang dibenarkan oleh jiwa, yang dengannya hati menjadi tenteram serta menjadi keyakinan bagi para pemeluknya, tidak ada keraguan dan kebimbangan di dalamnya. Adapun yang dimaksud syariah adalah tugas-tugas pekerjaan yang dibebankan oleh Islam, seperti salat, zakat, puasa, berbakti kepada orang tua, dan lain sebagainya.

Landasan akidah Islamiah adalah beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, dan beriman kepada qadar (takdir), yang baik maupun yang buruk.
Dalilnya adalah firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 177 yang artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi.”
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu itu menurut ukuran. Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata.” (Al-Qamar: 49–50).
Sabda Nabi saw. yang artinya, “Iman adalah hendaknya engkau percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Kemudian, dan percaya kepada qadar (takdir), yang baik maupun yang buruk.” (HR Muslim).
Pentingnya Akidah Islamiah
Pentingnya akidah Islamiah tampak dalam banyak hal, di antaranya sebagai berikut.
1. Bahwasanya kebutuhan kita terhadap akidah adalah di atas segala kebutuhan, dan kepentingan kita terhadap akidah adalah di atas segala kepentingan. Sebab, tidak ada kebahagiaan, kenikmatan, dan kegembiraan bagi hati, kecuali dengan beribadah kepada Allah, Rab dan Pencipta segala sesuatu.
2. Bahwasanya akidah Islamiah adalah kewajiban yang paling besar dan yang paling ditekankan. Karena itu, ia adalah sesuatu yang pertama kali diwajibkan kepada manusia. Rasulullah saw. bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak, kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” (HR Bukhari dan Muslim).
3. Bahwa akidah Islamiah adalah satu-satunya akidah yang bisa mewujudkan keamanan dan kedamaian, kebahagiaan dan kegembiraan. “(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Al-Baqarah: 112).
Demikian pula, hanya akidah Islamiah satu-satunya akidah yang bisa mewujudkan kecukupan dan kesejahteraan. “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (Al-A’raaf: 96).
4. Sesungguhnya akidah Islamiah adalah sebab sehingga bisa berkuasa di muka bumi dan sebab bagi berdirinya daulah Islamiah. “Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang shaleh.” (Al-Anbiya’: 105)
Sumber: Diadaptasi dari Kitab Tauhid 1 terbitan Yayasan Al-Sofwa, terjemahan dari At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal al-’Aliy, Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan.
alislam.or.id

Makna Akidah & Urgensinya Sebagai Landasan Agama

Makna Akidah & Urgensinya Sebagai Landasan Agama

Arti akidah secara etimologi adalah sebagai berikut. Akidah berasal dari kata ’aqd yang berarti pengikatan. A’taqattu kadza artinya “saya beritikad begini”. Maksudnya, saya mengikat hati terhadap hal tersebut. Akidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Jika dikatakan, “Dia mempunyai akidah yang benar,” berarti akidahnya bebas dari keraguan.
Akidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu.
Adapun makna akidah secara syara adalah sebagai berikut. Yaitu, iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan kepada hari akhir, serta kepada qadar yang baik maupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman.
Syariat terbagi menjadi dua: itiqadiyah dan amaliyah. I’tiqadiyah adalah hal-hal yang tidak berhubungan dengan tata cara amal, seperti i’tiqad (kepercayaan) terhadap rububiyah Allah dan kewajiban beribadah kepada-Nya, juga beritikad terhadap rukun-rukun iman yang lain. Hal ini disebut ashliyah. Benar dan rusaknya amaliyah tergantung dari benar dan rusaknya i’tiqadiyah.
Maka, akidah yang benar adalah fundamen bagi bangunan agama serta merupakan syarat sahnya amal. Hal itu sebagaimana firman Allah SWT (yang artinya), “Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh, dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Al-Kahfi: 110).
“Dan, sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan keada (nabi-nabi) yang sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk or-or yang merugi’.” (Az-Zumar: 65).
“Maka, sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik).” (Az-Zumar: 2–3).
Ayat-ayat di atas dan yang senada, yang jumlahnya banyak, menunjukkan bahwa segala amal tidak diterima jika tidak bersih dari syirik. Karena itulah, perhatian Nabi saw. yang pertama kali adalah pelurusan akidah. Dan, hal pertama yang didakwahkan para rasul kepada umatnya adalah menyembah Allah semata dan meninggalkan segala yang dituhankan selain Dia. Allah SWT berfirman, “Dan, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu,’ ….” (An-Nahl: 36).
Dan, pada awal dakwahnya setiap rasul selalu mengucapkan, “Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” (Al-A’raf: 59, 65, 73, 85).
Pernyataan tersebut diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Saleh, Syuaib, dan seluruh rasul a.s. Selama 13 tahun di Mekah–sesudah bi’tsah–Nabi saw. mengajak manusia kepada tauhid dan pelurusan akidah, karena hal itu merupakan landasan bangunan Islam. Para dai dan para pelurus agama dalam setiap masa telah mengikuti jejak para rasul dalam berdakwah. Sehingga, mereka memulai dengan dakwah kepada tauhid dan pelurusan akidah. Setelah itu mereka mengajak kepada seluruh perintah agama yang lain.
Sumber: Kitab Tauhid 1 terbitan Yayasan Al-Sofwa, terjemahan dari At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal al-‘Aliy, Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan

Tauhid Rububiyah Mengharuskan Adanya Tauhid Uluhiyah

Tauhid Rububiyah Mengharuskan Adanya Tauhid Uluhiyah

Siapa saja yang mengakui tauhid rububiyah untuk Allah, dengan mengimani tiada pencipta, tiada pemberi rezeki, tiada pengatur alam semesta, kecuali Allah, maka ia harus mengakui bahwa tidak ada yang berhak menerima ibadah dengan segala macamnya, kecuali Allah SWT. Itulah tauhid uluhiyah.
Tauhid uluhiyah yaitu tauhid ibadah, karena ilah maknanya adalah ma’bud (yang disembah). Maka, tidak ada yang diseur dalam doa, kecuali Allah, tiada yang dimintai pertolongan, kecuali Allah, tiada yang boleh dijadikan tempat bergantung, kecuali Dia, tidak boleh menyembelih kurban atau bernazar, kecuali untuk-Nya, dan tidak boleh mengarahkan seluruh ibadah, kecuali untuk-Nya dank arena Dia semata.
Jadi, tauhid rububiyah adalah bukti wajibnya tauhid uluhiyah. karena itu, sering kali Allah membantah orang yang mengingkari tauhid uluhiyah dengan tauhid rububiyah yang mereka akui dan yakini. Allah SWT berfirman (yang artinya), “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 21–22).
Allah memerintahkan mereka bertauhid uluhiyah, yaitu menyembah-Nya dan beribadah kepada-Nya. Dia menunjukkan dalil kepada mereka dengan tauhid rububiyah, yaitu penciptaan-Nya terhadap manusia dari yang pertama hingga yang terakhir, penciptaan langit dan bumi serta seisinya, penurunan hujan, penumbuhan tumbuh-tumbuhan, pengeluaran buah-buahan yang menjadi rezeki bagi para hamba. Maka, sangat tidak pantas bagi mereka jika menyekutukan Allah dengan yang lain-Nya, dari benda-benda ataupun orang-orang yang mereka sendiri mengetahui bahwa ia tidak bisa berbuat sesuatu pun dari hal-hal tersebut di atas dan lainnya.
Maka, jalan fitri untuk menetapkan tauhid uluhiyah adalah berdasarkan tauhid rububiyah. Karena, manusia pertama kalinya sangat bergantung kepada asal kejadiannya, sumber kemanfaatan dan kemadaratannya, setelah itu berpindah kepada cara-cara bertaqarrub kepada-Nya, cara-cara yang bisa membuat rida-Nya, dan yang menguatkan hubungan antara dirinya dengan Tuhannya. Maka, tauhid rububiyah adalah pintu gerbang dari tauhid uluhiyah. Karena itu, Allah berhujah atas orang-orang musyrik dengan cara ini. Dia juga memerintahkan rasul-Nya untuk berhujah atas mereka seperti itu. Allah SWT berfirman, “Katakanlah: ‘Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidakingat?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang mempunyai langit yang tujuh dan yang mempunyai Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu’?” (Al-Mu’minun: 84–89).
“(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah, Tuhan kamu; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; ….” (Al-An’am: 102).
Dia berdalil dengan tauhid rububiyah-Nya atas hak-Nya untuk disembah. Tuhid uluhiyah inilah yang menjadi tujuan dari penciptaan manusia. “Dan tidaklah Kuciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56).
Arti ya’buduun adalah mentauhidkan-Ku (Allah) dalam ibadah. Seorang hamba tidaklah menjadi muwahhid hanya dengan mengakui tauhid rububiyah semesta, tetapi ia harus mengakui tauhid uluhiyah serta mengamalkannya. Kalau tidak, maka sesungguhnya orang musyrik pun mengakui tauhid rububiyah, tetapi hal ini tidak membuat mereka masuk ke dalam Islam, bahkan Rasulullah saw. memerangi mereka. Padahal, mereka mengakui bahwa allahlah Sang Pencipta, Pemberi rezeki, Yang menghidupkan dan Yang mematikan. “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka,’ niscaya mereka menjawab, ‘Allah.’ ….” (Az-Zukhruf: 87).
Hal semacam ini banyak sekali dikemukakan dalam Alquran. Maka, barang siapa mengira bahwa tauhid itu hanya hanya meyakini wujud Allah, atau meyakini bahwa Allah adalah Al-Khaliq yang mengatur alam, maka sesungguhnya orang tersebut belumlah mengetahui hakikat tauhid yang dibawa oleh para rasul. Karena, sesungguhnya ia hanya mengakui sesuatu yang diharuskan, dan meninggalkan sesuatu yang mengharuskan; atau, berhenti hanya sampai pada dalil, tetapi ia meninggalkan isi dan inti dari dalil tersebut.
Di antara kekhususan ilahiyah aalah kesempurnaan-Nya yang mutlak dalam segala segi, tidak ada cela atau kekurangan sedikit pun. Ini mengharuskan semua ibadah mesti tertuju kepada-Nya: pengagungan, penghormatan, rasa takut, doa, pengharapan, tobat, tawakal, minta pertolongan, dan penghambaan dengan rasa cinta yang paling dalam. Semua itu wajib secara akal, syara, fitrah agar ditujukan khusus kepada Allah semata. Juga, secara akal, syara, dan fitrah, tidak mungkin hal itu boleh ditujukan kepada selain-Nya.
Sumber: At-Tauhid lish-Shaffil Awwal al’Aliy, Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan





Selasa, 15 Oktober 2013

Keagungan Sholat dalam Islam

Keagungan Sholat dalam Islam

Kewajiban sholat lima waktu adalah perkara yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin, namun sangat disayangkan realitanya masih banyak kaum muslimin yang melalaikan kewajiban ini, bahkan meninggalkannya sama sekali.

Tidaklah hal ini terjadi kecuali karena telah semakin jauhnya ummat Islam dari tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta bimbingan para ulama. Padahal seluruh ulama telah sepakat akan besarnya dosa meninggalkan sholat dan bahaya yang akan menimpa pelakunya di dunia dan akhirat.

Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “(Ulama) kaum muslimin tidak berbeda pendapat bahwa meninggalkan sholat wajib dengan sengaja termasuk dosa besar. Dosanya di sisi Allah lebih besar dari dosa membunuh jiwa, dosa mengambil harta orang (tanpa alasan yang benar), juga lebih besar dari dosa zina, pencurian dan minum khamar. Meninggalkan sholat juga mengundang hukuman dan kemarahan Allah serta kehinaan di dunia dan akhirat.” (Kitabus Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 29)


Sesungguhnya fenomena kaum yang melalaikan sholat ini telah diperingatkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan sholat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)

Makna menyia-nyiakan sholat dalam ayat ini bukanlah meninggalkan sholat sama sekali, sebab meninggalkan sholat lebih besar bahayanya, yaitu kekafiran (sebagaimana akan datang penjelasannya insya Allah Ta’ala). Akan tetapi makna menyia-nyiakan shalat -sebagaimana penjelasan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma- hanyalah sekedar menyia-nyiakan waktunya (lihat Syarhul Kabair lidz-Dzahabi, hal. 27).

Juga dalam firman-Nya:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ  الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya.” (Al-Ma’un: 4-5)
Demikian pula makna melalaikan sholat dalam ayat ini mencakup orang yang meninggalkan sholat secara menyeluruh maupun melalaikan pelaksanaannya dari yang semestinya.

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “(Termasuk dalam kategori melalaikan sholat) apakah melalaikannya dari awal waktunya, yaitu mereka selalu mengakhirkan waktu sholat atau kebanyakan waktunya. Ataukah melalaikannya dari pelaksanaannya dengan benar, yaitu dengan memenuhi rukun-rukun sholat dan syarat-syarat sholat sebagaimana yang diperintahkan (oleh Allah Ta’ala), ataukah melalaikannya dari khusyu’ dalam sholat dan mentadabburi makna-makna sholat. Sedang teks ayat ini mencakup semua bentuk pelalaian tersebut. Dan barangsiapa malakukan satu bentuk pelalaian tersebut maka dia mendapatkan bagian (ancaman) dari ayat ini. Dan barangsiapa yang melakukan semua bentuknya maka sempurnalah bagian ancaman terhadapnya dan lengkaplah pula sifat munafik ‘amaly dalam dirinya, sebagaimana dalam Ash-Shahihain bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

تلك صلاة المنافق، تلك صلاة المنافق، تلك صلاة المنافق، يجلس يَرْقُب الشمس، حتى إذا كانت بين قرني الشيطان قام فنقر أربعا لا يذكر الله فيها إلا قليلا
“Itulah sholatnya munafik, itulah sholatnya munafik, itulah sholatnya munafik, yaitu dia (hanya) duduk memperhatikan matahari, sampai ketika matahari berada pada kedua tanduk setan (hampir terbenam) lalu dia bangkit dan mematuk sebanyak empat (raka’at) tanpa mengingat Allah dalam sholatnya itu kecuali sedikit’” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/493)
Oleh karenanya, wajib atas setiap muslim untuk menasihati keluarga dan masyarakatnya agar lebih memperhatikan perkara sholat lima waktu ini.

Kedudukan Sholat

Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah menerangkan, “Sesungguhnya sholat merupakan perkara yang agung dalam Islam dan memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala, di sisi Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yaitu merupakan rukun kedua dari rukun Islam setelah dua kalimat syahadat. 

Dari Ibnu Umarradhiyallahu’anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
بُني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصوم رمضان وحج البيت لمن استطاع إليه سبيلا
“Islam dibangun di atas lima rukun, bersaksi bahwasannya tiada yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan sholat; menunaikan zakat; berpuasa pada bulan ramadhan; berhaji ke baitullah bagi yang mampu’.” (Makanatus Sholah fil Islam wa Atsaruhat Thoyibah, hal. 1)

Karena pentingnya sholat, sampai-sampai tidak ada alasan apapun untuk meninggalkan sholat, kecuali wanita yang haid atau nifas dan orang gila atau mati. Sholat lima waktu tetap wajib ditegakkan dalam keadaan bagaimana pun juga, baik dalam keadaan perang maupun aman, ketika safar maupun muqim, saat sibuk maupun lapang, ketika kaya maupun miskin, saat sehat maupun sakit, separah apapun sakitnya, ada air maupun tidak, apakah mampu menggunakan air atau tidak, serta tidak pula dengan alasan lupa atau tertidur.

Karena Allah yang Maha Penyayang dalam syari’at-Nya yang mulia ini telah memberikan keringanan-keringanan dalam pelaksanaan sholat, seperti bolehnya menjama’ sholat (yakni melaksanakan dua shalat dalam satu waktu karena sebab tertentu), bolehnya menqoshor sholat ketika safar (yakni meringkas sholat yang tadinya empat raka’at menjadi dua raka’at), bolehnya bertayamum sebagai ganti wudhu’ dan mandi wajib ketika tidak ada air atau tidak mampu menggunakan air, bolehnya sholat sambil duduk atau berbaring bagi yang tidak mampu berdiri atau karena sakit, serta bolehnya mengqodho’sholat yang terlewat waktunya karena tertidur atau lupa (yaitu tetap wajib melaksanakan sholat tersebut meski telah keluar dari waktunya jika karena lupa atau tertidur).

Demikianlah, betapa pentingnya sholat sehingga Allah Ta’ala menjelaskan diantara sifat orang-orang yang beriman penghuni surga adalah:

وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ
“Dan orang-orang yang menjaga sholatnya.” (Al-Mu’minun: 9)

الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ
“Yang mereka itu senantiasa mengerjakan sholatnya.” (Al-Ma’arij: 23)

Sebaliknya, diantara sebab adzab penghuni neraka karena meninggalkan sholat:
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ
“Apakah yang menyebabkan kalian masuk ke dalam neraka saqor, mereka menjawab, kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan sholat.” (Al-Mudatsir: 42-43)

 

Keutamaan Sholat

Diantara keutamaan sholat yang akan diraih seorang hamba apabila dia menjaga sholatnya dan menjauhi dosa-dosa besar adalah terhapusnya kesalahan-kesalahan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

أرأيتم لو أن نهراً بباب أحدكم يغتسل منه كل يوم خمس مراتٍ هل يبقى من درنه شيءٌ قالوا لا يبقى من درنه شيءٌ قال فذلك مثل الصلوات الخمس يمحو الله بهن الخطايا
“Bagaimana pendapat kalian seandainya di depan pintu seorang dari kalian ada sungai yang dia mandi darinya setiap hari lima kali, apakah masih tersisa kotorannya walau sedikit?” Para Sahabat menjawab, “Tidak tersisa kotorannya sedikitpun’” Beliau bersabda, “Demikianlah sholat lima waktu, dengannya Allah Ta’ala menghapus kesalahan-kesalahan”.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairoh radhiyallahu’anhu)

Bahkan sholat adalah amalan pertama yang akan diadili pada hari kiamat dan menjadi penentu bagi baiknya amalan-amalan yang lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن أول ما يحاسب به العبد يوم القيامة من عمله الصلاة فإن صلحت فقد أفلح و أنجح و إن فسدت فقد خاب و خسر و إن انتقص من فريضة قال الرب انظروا هل لعبدي من تطوع ؟ فيكمل بها ما انتقص من الفريضة ثم يكون سائر عمله على ذلك
“Sesungguhnya amalan pertama seorang hamba yang akan diadili pada hari kiamat adalah sholat, jika baik sholatnya maka dia telah menang dan selamat, namun jika rusak sholatnya maka dia telah celaka dan merugi. Dan jika kurang (sholat) wajibnya, Allah berfirman, ‘lihatlah apakah hamba-Ku memiliki (sholat) sunnah?’ Maka dengan (sholat) sunnah tersebut disempurnakanlah (sholat) wajibnya, kemudian semua amalan dihisab seperti itu.” (HR. At-Tirmidzi, no. 413, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihul Jami’, no. 2020)

Juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
أول ما يحاسب عليه العبد يوم القيامة الصلاة فإن صلحت صلح سائر عمله وإن فسدت فسد سائر عمله
“Amalan pertama seorang hamba yang akan dihisab pada hari kiamat adalah sholat, jika baik sholatnya maka baik pula seluruh amalannya, namun jika rusak sholatnya maka rusak pula seluruh amalannya.” (HR. Thabrani dalam Al-Aushat, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 376)

 

Hukum Meninggalkan Sholat

Orang yang meninggalkan sholat ada dua bentuk:

Pertama: Orang yang meninggalkan sholat dan sekaligus mengingkari, membenci atau menentang kewajiban sholat. Bentuk yang pertama ini telah sepakat para Ulama akan kafirnya orang tersebut, bahkan meskipun dia melaksanakan sholat secara lahirnya, namun jika batinnya mengingkari, membenci atau menentang kewajiban sholat, orang tersebut tetaplah kafir, kecuali orang yang baru masuk Islam yang belum mengerti dengan kewajiban sholat.

Kedua: Orang yang meninggalkan sholat karena lalai atau malas. Bentuk yang kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama akan kekafirannya (lihat Nailul Authar, 1/369).
Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan dalam risalah Hukmu Tarikis Sholah:

Pendapat Al-Imam Ahmad rahimahullah tentang orang yang meninggalkan sholat (dengan segala bentuknya) adalah kafir dan keluar dari agama Islam (murtad), hukumannya adalah dibunuh (karena telah murtad) jika tidak mau bertaubat dan melaksanakan sholat kembali.

Adapun pendapat Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumullah tentang orang yang meninggalkan sholat adalah fasik (pelaku dosa besar) dan tidak sampai kafir.

Kemudian mereka berbeda pendapat tentang hukumannya; pendapat Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i bahwa hukumannya adalah dibunuh sebagai had (bukan karena murtad, tapi hanya seperti hukumannya pezina yang pernah menikah). Sedangkan pendapat Al-Imam Abu Hanifah hukumannya terserah kepada hakim dan tidak sampai dibunuh.

Lalu Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menguatkan pendapat Al-Imam Ahmad, yaitu kafirnya orang yang meninggalkan sholat dengan segala bentuknya, berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta pendapat para sahabatradhiyallahu’anhum

Diantaranya firman Allah Ta’ala:
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (At-Taubah: 11)

Sisi pendalilannya adalah, dalam ayat ini Allah Ta’ala menjadikan sholat sebagai syarat ukhuwah dalam agama, jika seorang meninggalkan sholat maka dia bukan saudara seagama karena dia telah kafir.

Adapun dalil dari as-Sunnah, sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
إن بين الرجل وبين الشرك، والكفر، ترك الصلاة
“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan sholat.” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu‘anhuma)

Juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة، فمن تركها فقد كفر
“Perjanjian antara kami dengan mereka adalah sholat, barangsiapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2621, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albanidalam Al-Misykah, no. 574)

Seorang tabi’in yang mulia, Abdullah bin Syaqiq rahimahullah berkata:
كان أصحاب محمد صلى الله عليه و سلم لا يرون شيئا من الأعمال تركه كفر غير الصلاة
“Dahulu para Sahabat Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam tidak melihat suatu amalan yang apabila ditinggalkan merupakan kekafiran, kecuali sholat.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2622, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 565)

 

Hukum Sholat Jama’ah

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan bahwa para ulama telah sepakat akan disyari’atkannya sholat jama’ah, namun mereka berbeda pendapat tentang hukumnya menjadi empat pendapat:
Pertama: Fardhu ‘ain.Kedua: Fadhu kifayah.Ketiga: Sunnah mu’akkadah.Keempat: Syarat sahnya sholat.

Kemudian beliau menguatkan bahwa yang benar adalah pendapat pertama, yaitu hukum sholat jama’ah (bagi laki-laki) adalah fardhu ‘ain, barangsiapa yang meninggalkannya dengan sengaja maka dia berdosa namun sholatnya tetap sah. Setelah itu beliau menjelaskan kelemahan pendapat yang lainnya (lihat Asy-Syarhul Mumti’, 4/59).

Adapun dalil-dalil wajibnya sholat jama’ah dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan amalan para sahabat radhiyallahu’anhum .

Dalil dari al-Qur’an, diantaranya firman Allah Ta’ala:
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةٌ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُواْ فَلْيَكُونُواْ مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّواْ فَلْيُصَلُّواْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan sholat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (sholat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) telah sujud (telah selesai sholat), maka hendaklah datang golongan yang kedua yang belum sholat, lalu sholatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.” (An-Nisa’: 102)

Ayat ini menjelaskan tentang tata cara sholat ketika perang, yaitu sholat khauf (dalam keadaan takut). Allah Ta’ala memerintahkan sholat berjama’ah meski dalam keadaan khauf, sedang ‘perintah’ hukum asalnya adalah ‘wajib’ dan ia tetap pada hukum asal tersebut selama tidak ada dalil yang memalingkan dari hukum asalnya.

Dalil dari As-Sunnah, diantaranya:
عن ابن أم مكتوم – رضي الله عنه- أنه سأل النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، إني رجل ضرير البصر، شاسع الدار، ولي قائد لا يلائمني، فهل لي رخصة أن أصلي في بيتي؟ قال: هل تسمع النداء؟ قال: نعم، قال: لا أجد لك رخصة
Dari Abdullah bin Ummi Maktum radiyallahu’anhu bahwasannya beliau bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku seorang lelaki buta, rumahku jauh (dari masjid) dan penuntunku tidak selalu menemaniku, apakah ada keringanan bagiku untuk sholat di rumahku?” Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan, “Apakah kamu mendengar adzan”, dia menjawab “Ya”.  Beliau bersabda, “Saya tidak mendapati keringanan untukmu.” (HR. Abu Daud, no. 552, dishahihkanAsy-Syaikh Al-Albani dalam Shohih Abi Daud, no. 561)

Dari atsar sahabat:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّى هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِى بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِى الصَّفِّ
Dari Abdullah bin Mas’ud radiyallahu’anhu beliau berkata, “Barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Allah besok (hari kiamat) dalam keadaan muslim maka hendaklah dia menjaga sholat lima waktu dengan melaksanakannya di tempat dikumandangkan adzan, karena sesungguhnya Allah telah mensyari’atkan kepada Nabi kalian shallallahu’alaihi wa sallam jalan-jalan hidayah, sedang sholat lima waktu berjama’ah adalah termasuk jalan-jalan hidayah tersebut. Dan seandainya kalian sholat di rumah-rumah kalian -sebagaimana sholatnya orang yang meninggalkan ini di rumahnya-, maka sungguh kalian telah meninggalkan petunjuk Nabi kalian shallallahu’alaihi wa sallam, sedang jika kalian meninggalkan petunjuk Nabi kalian shallallahu’alaihi wa sallam maka kalian pasti tersesat. Dan tidaklah ada seorang bersuci dengan baik, kemudian dia bermaksud ke masjid kecuali Allah menuliskan baginya pada setiap langkahnya satu kebaikan, mengangkat satu derajatnya dan menghapus satu kesalahannya (dengan setiap satu langkahnya). Dan sungguh aku melihat kami (para sahabat), tidaklah ada yang meninggalkan sholat jama’ah kecuali (kami menganggapnya) seorang munafik yang jelas kemunafikannya, bahkan dahulu seorang (sahabat yang sakit) didatangkan (ke masjid) dengan dibopong oleh dua orang sampai diberdirikan ke dalam shaf.” (HR. Muslim, no. 1520)

Adapun bagi wanita maka hukumnya boleh sholat jama’ah di masjid (tentu dengan syarat memperhatikan adab-adab Islami), namun sholatnya wanita di rumahnya itu lebih baik (lihat Asy-Syarhul Mumti’, 4/60).

Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
لا تمنعوا نساءكم المساجد و بيوتهن خير لهن
“Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian mendatangi masjid-masjid (untuk sholat), dan (sholatnya mereka) di rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” (HR. Al-Hakim, no. 755, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihul Jami’, no. 7458)
Demikianlah penjelasan ringkas seputar pentingnya sholat dalam kehidupan seorang muslim, semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada kita  kemampuan untuk selalu mengamalkannya dalam keadaan bagaimanapun juga.

Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal Muwaffiq.

Panduan Mengelola Masjid



Panduan Mengelola Masjid 

Pertanyaan yang sering timbul ketika seseorang masuk masjid di waktu shalat adalah mengapa masjid kosong?
Apakah hal itu karena jama’ah malas ke masjid dan memilih sholat di rumah? Apakah umat telah mengalami degradasi? Atau apakah karena pengurus masjid tidak kreatif sehingga jama’ah merasa malas untuk menunaikan ibadah? Atau kah ada faktor lain?
Ada beberapa faktor yang selama ini kurang diperhatikan pengurus masjid sehingga secara tidak langsung membuat umat atau jama’ahnya tidak betah.
Berikut adalah Panduan Mengelola Masjid. Semoga dengan panduan ini, masjid anda menjadi semakin ramai jamaahnya, dan semoga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi jamaah lingkungan sekitar masjid, Amien.

Lembaga Afiliasi
Masalah mendasar adalah tanggung jawab dalam kepengurusan masjid. Banyak masjid yang dibangun oleh swadaya masyarakat sendiri. Misalnya sebuah RT berusaha mengumpulkan dana lalu membangun masjid di RT mereka. Tujuan utamanya mungkin adalah agar jarak dan waktu menuju masjid dapat dipersingkat.
Hal ini sangat bagus. Ada kemandirian masyarakat. Namun sistem pembangunan seperti ini ada hal negatifnya. Ketiadaan induk dan afiliasi masjid secara nasional mempunyai potensi penyimpangan fungsi masjid tersebut, karena tidak adanya kontrol.
Penyelesaiannya, sebuah masjid yang telah dibangun seharusnya melaporkan diri ke pihak yang berwenang/organisasi kompeten seperti MUI, NU, atau lainnya. Lembaga inilah yang akan membimbing pengelola masjid. Pembinaan dan standarisasi keilmuwan pengurusnya akan dapat dilakukan, misal menghitung zakat, kemampuan imam, khatib dan berbagai pengetahuan lainnya.
Lembaga tersebut juga akan selalu melakuan audit, pelatihan berkala dan berbagai program pembinaan lainnya sehingga kepengurusan masjid menjadi akuntable dan bertanggung jawab.

Struktur Organisasi
Masjid seharusnya dikelola oleh tim pengelola (badan wakaf atau semacamnya) yang independen dan profesional, serta dapat dikontrol oleh lembaga-lembaga afiliasi tersebut di atas. Selain meringankan kerja pewakaf/pendiri masjid, hal ini untuk menjaga ke-istiqamah-an masjid seandainya pendiri masjid telah meninggal.
Ketika seseorang mewakafkan sebuah masjid, hendaknya dibentuk sebuah badan wakaf sebagai pengelolanya. Anggota tim pengelola harus dipilih secara hati-hati, dengan melihat aspek-aspek keilmuwan, kemapanan, kepemimpinan, dan latar belakangnya, karena tim ini yang menentukan arah dan perkembangan masjid (GBHN-nya masjid). Tim tidak usah terlalu banyak, namun jangan terlalu sedikit. Seperti pengorganisasian Wali Songo, ketika ada anggota tim yang meninggal dunia, sebaiknya cepat-cepat dicari/ditunjuk penggantinya.
Tim Pengelola ini kemudian menunjuk takmir masjid sebagai pengurus hariannya. Tim pengelola (Badan wakaf) tidak perlu bekerja secara full, cukup hanya memantau/mengontrol saja. Sedangkan keseharian kegiatan masjid diselenggarakan oleh takmir, yang dibentuk oleh tim pengelola tersebut.
Antara tim pengelola dan takmir harus melakukan pertemuan secara berkala, walaupun tidak perlu terlalu sering. Ini dilakukan untuk kontrol, evaluasi kerja, dan penyamaan/penyegaran (kembali) persepsi GBHN masjid. Tim pengelola berhak memecat atau mengganti takmir ketika diketahui ada penyelewengan.
Hubungan antara tim pengelola dan takmir masjid seperti hubungan MPR dengan Presiden. Atau antara Syuriyah dengan Tanfidiyah. Kalau di dunia bisnis, seperti hubungan antara Komite (pemilik saham) dengan Direktur Utama.

Peningkatan Mutu SDM Takmir
Sumber daya manusia yang paling menentukan di dalam kepengurusan sehari-hari sebuah masjid adalah takmir masjid, dan pasti imam masjid. Untuk itulah perlu kegiatan peningkatan mutu SDM. Kegiatan ini harus berkala dan terus-menerus.
Prioritas utama adalah takmir masjid dan imam, baru diikuti tim pengelola dan lain-lain. Kenapa prioritas utama adalah takmir? Karena dia (mereka) lah yang menjalankan mandat kegiatan sehari-hari masjid. Sehingga mereka pasti harus mengetahui ilmunya terlebih dahulu.
Sedangkan imam, pasti dia harus menguasai ilmu-ilmu terutama shalat, dan lain-lainnya. Imam biasanya adalah juga takmir masjid. Namun di banyak masjid, ada imam yang pasif dalam kepengurusan rutin. Dalam kondisi demikian, antara imam dan takmir harus dibedakan. Imam adalah tim pengelola, sedangkan takmir adalah pengurus harian.
Hal-hal ilmu-ilmu mendasar merupakan prioritas yang harus dikuasai. Ilmu-ilmu yang menyangkut rukun islam (syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji) mutlak harus dikuasai, prioritas sesuai urutan. Shalat tentu saja shalat wajib, termasuk shalat jenazah. Diikuti penguasaan shalat sunnah. Zakat yang pasti harus dikuasai adalah zakat fitrah, kemudian zakat harta, sesuai dengan kondisi masyarakat sekitar masjid. Baru setelah itu ilmu-ilmu yang lain menyusul.
Kegiatan peningkatan mutu SDM ini harus berkala dan terus-menerus. Minimal bulanan (selapanan). Mingguan lebih baik, apalagi harian. Jika di lingkungan intern masjid tidak ada guru yang mumpuni, guru perlu diambilkan dari lembaga afiliasi di atas. Sangat baik jika ada pengurus masjid yang di utus untuk menimba ilmu secara khusus, seperti dikirim ke pesantren/pelatihan ilmu dalam jangka waktu tertentu, kemudian pulang menularkan ilmunya tersebut.
Kegiatan peningkatan mutu SDM pengurus masjid ini adalah kegiatan minimal yang dilakukan oleh sebuah masjid. Tanpa itu, masjid akan mati dengan sendirinya begitu pendiri atau takmir masjid meninggal dunia.

Majelis Taklim ke Masyarakat
Dia antara fungsi masjid pada zaman Rasulullah saw ialah: Tempat ibadat, terutama sembahyang berjemaah. Tempat pembentukan peribadi umat Islam atau dalam erti kata lain masjid adalah pusat pendidikan Islam. Pusat perkembangan ilmu pengetahuan kerana masjid tempat ilmu pengetahuan disampaikan baik dalam bidang akidah, syariat dan akhlak. Tempat wahyu diturunkan dan sebagai tempat wahyu disampaikan kepada sahabat. Pusat kegiatan sosial dan kehakiman dalam perkara yang berkaitan dengan nikah kawin dan penyelesaian masalah umat Islam. Tempat letaknya Baitulmal negara.
Ringkasnya, sebuah masjid mempunyai fungsi sebagai pusat peribadatan dan sebagai penerang masyarakat. Saat ini ada kecenderungan bahwa masjid hanya digunakan sebagai pusat peribadatan saja (shalat jum’at, shalat berjamaah, dll). Sedangkan fungsi-fungsi lain cenderung ditunggalkan.
Dengan tidak meninggalkan masjid sebagai pusat sembahyang berjamaah, sebuah masjid seharusnya lah juga berfungsi untuk mendidik masyarakat (menerangi masyarakat dari kebodohan). Untuk itu taklim-taklim / pengajian-pengajian perlu digalakkan lagi secara kontinyu.
Majelis taklim untuk umum sebaiknya dilakukan berkala. Mingguan atau bulanan (selapanan). Selain itu, boleh juga ada pemisahan gender misalnya, pengajian ibu-ibu, bapak-bapak, pemuda, remaja putri, dlsb. Itu semua sangat baik dilakukan secara berkala. Semua harus terpusat ke masjid dengan tidak menafikan seandainya sekali-kali dilaksanakan di rumah warga.
Jangan lupa mengadakan majelis dzikir atau melakukan dzikir bersama jamaah di dalam taklim-taklim tersebut.

Anak-anak dan TPA
Ada pun untuk anak-anak dan pra remaja, maka ini perlu perhatian khusus dari takmir masjid. Majelis ilmu untuk adik-adik ini harus mendapat prioritas. Sebab tanpa mereka dengan ilmu agama, maka masa depan islam akan runtuh. Amal jariyah anda akan putus.
Anak-anak ini harus difasilitasi dengan TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an) dan sejenisnya. Metode Iqra’ sebagi contoh metode TPA yang baik sekali untuk dipakai. 2 3 atau 4 kali seminggu sudah bagus. Ini seperti kelas sore khusus al Qur’an dan ilmu agama dasar lainnya.Ada pembagian klas. Dan ada target untuk lulus level sekian pada setiap klas, dalam jangka waktu tertentu. Akhirnya siswa dinyatakan lulus setelah  khatam al Qur’an dan ilmu-ilmu dasar lainnya di klas tertinggi.
Ditekankan bahwa anak-anak harus lulus TPA pada saat klas 6 SD (atau bersamaan dengan lulus SD). Karena begitu anak-anak masuk sekolah SMP, waktu mereka sudah tersita lebih banyak di luar. Sekolahnya mungkin tidak di dekat rumah lagi. Ada banyak kegiatan ekstra dari sekolah, Les, dll. Sehingga akan lebih banyak kegiatan lain yang menghambatnya mengikuti TPA (seandainya belum tamat TPA). Untuk itu kelulusan TPA, yang dilihat dari khatam al Qur’an dan ilmu-ilmu dasar agama, mutlak harus pada usia SD.
Kemudian, masjid dengan takmir/pengelola atau ulama yang mempunyai ilmu lebih, maka sebaiknya ada kegiatan pengajian kitab-kitab lanjut. Ini pun perlu dilakukan secara terstruktur, dengan tingkatan-tingkatan, dengan klas-klas. Dapat dilakukan dengan mengundang guru dari luar (lembaga afiliasi) secara teratur jika ada anggaran keuangan berlebih. Sehingga ilmu yang dipunyai para alim tidak hilang musnah ditelan zaman.

Kepekaan Sosial
Selain kegiatan-kegiatan di atas, pengurus masjid harus tanggap terhadap kondisi sosial yang terjadi di masyarakat. Kendala-kendala maupaun masalah-masalah sosial yang dialami warga sekitarnya. Misalnya kelaparan, musibah, kesusahan, sakit jiwa, kefakiran, deviasi sosial, kenakalan remaja, musafir (pendatang yang kesusahan), ketiadaan air, ibn sabil dan lain sebagainya. Masijd melalui pengurusnya harus bertindak sebagai, pengayom, pencegah, pengobat dan konseling.
Dalam hal peristiwa-peristiwa besar, pengurus masjid perlu bekerja sama dengan lembaga-lembaga afiliasi di atasnya, dengan organisasi terkait lain, ataupun dengan pemerintah.
Wallahu a’lam.