Keagungan Sholat dalam Islam
Kewajiban sholat lima waktu adalah perkara yang disepakati oleh
seluruh kaum muslimin, namun sangat disayangkan realitanya masih banyak
kaum muslimin yang melalaikan kewajiban ini, bahkan meninggalkannya sama
sekali.
Tidaklah hal ini terjadi kecuali karena telah semakin jauhnya ummat Islam dari tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta bimbingan para ulama. Padahal seluruh ulama telah sepakat akan besarnya dosa meninggalkan sholat dan bahaya yang akan menimpa pelakunya di dunia dan akhirat.
Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “(Ulama) kaum muslimin tidak berbeda pendapat bahwa meninggalkan sholat wajib dengan sengaja termasuk dosa besar. Dosanya di sisi Allah lebih besar dari dosa membunuh jiwa, dosa mengambil harta orang (tanpa alasan yang benar), juga lebih besar dari dosa zina, pencurian dan minum khamar. Meninggalkan sholat juga mengundang hukuman dan kemarahan Allah serta kehinaan di dunia dan akhirat.” (Kitabus Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 29)
Sesungguhnya fenomena kaum yang melalaikan sholat ini telah diperingatkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan sholat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)
Makna menyia-nyiakan sholat dalam ayat ini bukanlah meninggalkan sholat sama sekali, sebab meninggalkan sholat lebih besar bahayanya, yaitu kekafiran (sebagaimana akan datang penjelasannya insya Allah Ta’ala). Akan tetapi makna menyia-nyiakan shalat -sebagaimana penjelasan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma- hanyalah sekedar menyia-nyiakan waktunya (lihat Syarhul Kabair lidz-Dzahabi, hal. 27).
Juga dalam firman-Nya:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya.” (Al-Ma’un: 4-5)
Demikian pula makna melalaikan sholat dalam ayat ini mencakup orang yang meninggalkan sholat secara menyeluruh maupun melalaikan pelaksanaannya dari yang semestinya.
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “(Termasuk dalam kategori melalaikan sholat) apakah melalaikannya dari awal waktunya, yaitu mereka selalu mengakhirkan waktu sholat atau kebanyakan waktunya. Ataukah melalaikannya dari pelaksanaannya dengan benar, yaitu dengan memenuhi rukun-rukun sholat dan syarat-syarat sholat sebagaimana yang diperintahkan (oleh Allah Ta’ala), ataukah melalaikannya dari khusyu’ dalam sholat dan mentadabburi makna-makna sholat. Sedang teks ayat ini mencakup semua bentuk pelalaian tersebut. Dan barangsiapa malakukan satu bentuk pelalaian tersebut maka dia mendapatkan bagian (ancaman) dari ayat ini. Dan barangsiapa yang melakukan semua bentuknya maka sempurnalah bagian ancaman terhadapnya dan lengkaplah pula sifat munafik ‘amaly dalam dirinya, sebagaimana dalam Ash-Shahihain bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
تلك صلاة المنافق، تلك صلاة المنافق، تلك صلاة المنافق، يجلس يَرْقُب الشمس، حتى إذا كانت بين قرني الشيطان قام فنقر أربعا لا يذكر الله فيها إلا قليلا
“Itulah sholatnya munafik, itulah sholatnya munafik, itulah sholatnya munafik, yaitu dia (hanya) duduk memperhatikan matahari, sampai ketika matahari berada pada kedua tanduk setan (hampir terbenam) lalu dia bangkit dan mematuk sebanyak empat (raka’at) tanpa mengingat Allah dalam sholatnya itu kecuali sedikit’” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/493)
Oleh karenanya, wajib atas setiap muslim untuk menasihati keluarga dan masyarakatnya agar lebih memperhatikan perkara sholat lima waktu ini.
Tidaklah hal ini terjadi kecuali karena telah semakin jauhnya ummat Islam dari tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta bimbingan para ulama. Padahal seluruh ulama telah sepakat akan besarnya dosa meninggalkan sholat dan bahaya yang akan menimpa pelakunya di dunia dan akhirat.
Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “(Ulama) kaum muslimin tidak berbeda pendapat bahwa meninggalkan sholat wajib dengan sengaja termasuk dosa besar. Dosanya di sisi Allah lebih besar dari dosa membunuh jiwa, dosa mengambil harta orang (tanpa alasan yang benar), juga lebih besar dari dosa zina, pencurian dan minum khamar. Meninggalkan sholat juga mengundang hukuman dan kemarahan Allah serta kehinaan di dunia dan akhirat.” (Kitabus Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 29)
Sesungguhnya fenomena kaum yang melalaikan sholat ini telah diperingatkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan sholat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)
Makna menyia-nyiakan sholat dalam ayat ini bukanlah meninggalkan sholat sama sekali, sebab meninggalkan sholat lebih besar bahayanya, yaitu kekafiran (sebagaimana akan datang penjelasannya insya Allah Ta’ala). Akan tetapi makna menyia-nyiakan shalat -sebagaimana penjelasan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma- hanyalah sekedar menyia-nyiakan waktunya (lihat Syarhul Kabair lidz-Dzahabi, hal. 27).
Juga dalam firman-Nya:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya.” (Al-Ma’un: 4-5)
Demikian pula makna melalaikan sholat dalam ayat ini mencakup orang yang meninggalkan sholat secara menyeluruh maupun melalaikan pelaksanaannya dari yang semestinya.
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “(Termasuk dalam kategori melalaikan sholat) apakah melalaikannya dari awal waktunya, yaitu mereka selalu mengakhirkan waktu sholat atau kebanyakan waktunya. Ataukah melalaikannya dari pelaksanaannya dengan benar, yaitu dengan memenuhi rukun-rukun sholat dan syarat-syarat sholat sebagaimana yang diperintahkan (oleh Allah Ta’ala), ataukah melalaikannya dari khusyu’ dalam sholat dan mentadabburi makna-makna sholat. Sedang teks ayat ini mencakup semua bentuk pelalaian tersebut. Dan barangsiapa malakukan satu bentuk pelalaian tersebut maka dia mendapatkan bagian (ancaman) dari ayat ini. Dan barangsiapa yang melakukan semua bentuknya maka sempurnalah bagian ancaman terhadapnya dan lengkaplah pula sifat munafik ‘amaly dalam dirinya, sebagaimana dalam Ash-Shahihain bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
تلك صلاة المنافق، تلك صلاة المنافق، تلك صلاة المنافق، يجلس يَرْقُب الشمس، حتى إذا كانت بين قرني الشيطان قام فنقر أربعا لا يذكر الله فيها إلا قليلا
“Itulah sholatnya munafik, itulah sholatnya munafik, itulah sholatnya munafik, yaitu dia (hanya) duduk memperhatikan matahari, sampai ketika matahari berada pada kedua tanduk setan (hampir terbenam) lalu dia bangkit dan mematuk sebanyak empat (raka’at) tanpa mengingat Allah dalam sholatnya itu kecuali sedikit’” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/493)
Oleh karenanya, wajib atas setiap muslim untuk menasihati keluarga dan masyarakatnya agar lebih memperhatikan perkara sholat lima waktu ini.
Kedudukan Sholat
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah menerangkan,
“Sesungguhnya sholat merupakan perkara yang agung dalam Islam dan
memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala, di sisi Rasul-Nya
dan orang-orang yang beriman, yaitu merupakan rukun kedua dari rukun
Islam setelah dua kalimat syahadat.
Dari Ibnu Umarradhiyallahu’anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
بُني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصوم رمضان وحج البيت لمن استطاع إليه سبيلا
“Islam dibangun di atas lima rukun, bersaksi bahwasannya tiada yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan sholat; menunaikan zakat; berpuasa pada bulan ramadhan; berhaji ke baitullah bagi yang mampu’.” (Makanatus Sholah fil Islam wa Atsaruhat Thoyibah, hal. 1)
Karena pentingnya sholat, sampai-sampai tidak ada alasan apapun untuk meninggalkan sholat, kecuali wanita yang haid atau nifas dan orang gila atau mati. Sholat lima waktu tetap wajib ditegakkan dalam keadaan bagaimana pun juga, baik dalam keadaan perang maupun aman, ketika safar maupun muqim, saat sibuk maupun lapang, ketika kaya maupun miskin, saat sehat maupun sakit, separah apapun sakitnya, ada air maupun tidak, apakah mampu menggunakan air atau tidak, serta tidak pula dengan alasan lupa atau tertidur.
Karena Allah yang Maha Penyayang dalam syari’at-Nya yang mulia ini telah memberikan keringanan-keringanan dalam pelaksanaan sholat, seperti bolehnya menjama’ sholat (yakni melaksanakan dua shalat dalam satu waktu karena sebab tertentu), bolehnya menqoshor sholat ketika safar (yakni meringkas sholat yang tadinya empat raka’at menjadi dua raka’at), bolehnya bertayamum sebagai ganti wudhu’ dan mandi wajib ketika tidak ada air atau tidak mampu menggunakan air, bolehnya sholat sambil duduk atau berbaring bagi yang tidak mampu berdiri atau karena sakit, serta bolehnya mengqodho’sholat yang terlewat waktunya karena tertidur atau lupa (yaitu tetap wajib melaksanakan sholat tersebut meski telah keluar dari waktunya jika karena lupa atau tertidur).
Demikianlah, betapa pentingnya sholat sehingga Allah Ta’ala menjelaskan diantara sifat orang-orang yang beriman penghuni surga adalah:
وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ
“Dan orang-orang yang menjaga sholatnya.” (Al-Mu’minun: 9)
الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ
“Yang mereka itu senantiasa mengerjakan sholatnya.” (Al-Ma’arij: 23)
Sebaliknya, diantara sebab adzab penghuni neraka karena meninggalkan sholat:
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ
“Apakah yang menyebabkan kalian masuk ke dalam neraka saqor, mereka menjawab, kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan sholat.” (Al-Mudatsir: 42-43)
Dari Ibnu Umarradhiyallahu’anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
بُني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصوم رمضان وحج البيت لمن استطاع إليه سبيلا
“Islam dibangun di atas lima rukun, bersaksi bahwasannya tiada yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan sholat; menunaikan zakat; berpuasa pada bulan ramadhan; berhaji ke baitullah bagi yang mampu’.” (Makanatus Sholah fil Islam wa Atsaruhat Thoyibah, hal. 1)
Karena pentingnya sholat, sampai-sampai tidak ada alasan apapun untuk meninggalkan sholat, kecuali wanita yang haid atau nifas dan orang gila atau mati. Sholat lima waktu tetap wajib ditegakkan dalam keadaan bagaimana pun juga, baik dalam keadaan perang maupun aman, ketika safar maupun muqim, saat sibuk maupun lapang, ketika kaya maupun miskin, saat sehat maupun sakit, separah apapun sakitnya, ada air maupun tidak, apakah mampu menggunakan air atau tidak, serta tidak pula dengan alasan lupa atau tertidur.
Karena Allah yang Maha Penyayang dalam syari’at-Nya yang mulia ini telah memberikan keringanan-keringanan dalam pelaksanaan sholat, seperti bolehnya menjama’ sholat (yakni melaksanakan dua shalat dalam satu waktu karena sebab tertentu), bolehnya menqoshor sholat ketika safar (yakni meringkas sholat yang tadinya empat raka’at menjadi dua raka’at), bolehnya bertayamum sebagai ganti wudhu’ dan mandi wajib ketika tidak ada air atau tidak mampu menggunakan air, bolehnya sholat sambil duduk atau berbaring bagi yang tidak mampu berdiri atau karena sakit, serta bolehnya mengqodho’sholat yang terlewat waktunya karena tertidur atau lupa (yaitu tetap wajib melaksanakan sholat tersebut meski telah keluar dari waktunya jika karena lupa atau tertidur).
Demikianlah, betapa pentingnya sholat sehingga Allah Ta’ala menjelaskan diantara sifat orang-orang yang beriman penghuni surga adalah:
وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ
“Dan orang-orang yang menjaga sholatnya.” (Al-Mu’minun: 9)
الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ
“Yang mereka itu senantiasa mengerjakan sholatnya.” (Al-Ma’arij: 23)
Sebaliknya, diantara sebab adzab penghuni neraka karena meninggalkan sholat:
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ
“Apakah yang menyebabkan kalian masuk ke dalam neraka saqor, mereka menjawab, kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan sholat.” (Al-Mudatsir: 42-43)
Keutamaan Sholat
Diantara keutamaan sholat yang akan diraih seorang hamba apabila dia
menjaga sholatnya dan menjauhi dosa-dosa besar adalah terhapusnya
kesalahan-kesalahan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
أرأيتم لو أن نهراً بباب أحدكم يغتسل منه كل يوم خمس مراتٍ هل يبقى من درنه شيءٌ قالوا لا يبقى من درنه شيءٌ قال فذلك مثل الصلوات الخمس يمحو الله بهن الخطايا
“Bagaimana pendapat kalian seandainya di depan pintu seorang dari kalian ada sungai yang dia mandi darinya setiap hari lima kali, apakah masih tersisa kotorannya walau sedikit?” Para Sahabat menjawab, “Tidak tersisa kotorannya sedikitpun’” Beliau bersabda, “Demikianlah sholat lima waktu, dengannya Allah Ta’ala menghapus kesalahan-kesalahan”.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairoh radhiyallahu’anhu)
Bahkan sholat adalah amalan pertama yang akan diadili pada hari kiamat dan menjadi penentu bagi baiknya amalan-amalan yang lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن أول ما يحاسب به العبد يوم القيامة من عمله الصلاة فإن صلحت فقد أفلح و أنجح و إن فسدت فقد خاب و خسر و إن انتقص من فريضة قال الرب انظروا هل لعبدي من تطوع ؟ فيكمل بها ما انتقص من الفريضة ثم يكون سائر عمله على ذلك
“Sesungguhnya amalan pertama seorang hamba yang akan diadili pada hari kiamat adalah sholat, jika baik sholatnya maka dia telah menang dan selamat, namun jika rusak sholatnya maka dia telah celaka dan merugi. Dan jika kurang (sholat) wajibnya, Allah berfirman, ‘lihatlah apakah hamba-Ku memiliki (sholat) sunnah?’ Maka dengan (sholat) sunnah tersebut disempurnakanlah (sholat) wajibnya, kemudian semua amalan dihisab seperti itu.” (HR. At-Tirmidzi, no. 413, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihul Jami’, no. 2020)
Juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
أول ما يحاسب عليه العبد يوم القيامة الصلاة فإن صلحت صلح سائر عمله وإن فسدت فسد سائر عمله
“Amalan pertama seorang hamba yang akan dihisab pada hari kiamat adalah sholat, jika baik sholatnya maka baik pula seluruh amalannya, namun jika rusak sholatnya maka rusak pula seluruh amalannya.” (HR. Thabrani dalam Al-Aushat, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 376)
أرأيتم لو أن نهراً بباب أحدكم يغتسل منه كل يوم خمس مراتٍ هل يبقى من درنه شيءٌ قالوا لا يبقى من درنه شيءٌ قال فذلك مثل الصلوات الخمس يمحو الله بهن الخطايا
“Bagaimana pendapat kalian seandainya di depan pintu seorang dari kalian ada sungai yang dia mandi darinya setiap hari lima kali, apakah masih tersisa kotorannya walau sedikit?” Para Sahabat menjawab, “Tidak tersisa kotorannya sedikitpun’” Beliau bersabda, “Demikianlah sholat lima waktu, dengannya Allah Ta’ala menghapus kesalahan-kesalahan”.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairoh radhiyallahu’anhu)
Bahkan sholat adalah amalan pertama yang akan diadili pada hari kiamat dan menjadi penentu bagi baiknya amalan-amalan yang lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن أول ما يحاسب به العبد يوم القيامة من عمله الصلاة فإن صلحت فقد أفلح و أنجح و إن فسدت فقد خاب و خسر و إن انتقص من فريضة قال الرب انظروا هل لعبدي من تطوع ؟ فيكمل بها ما انتقص من الفريضة ثم يكون سائر عمله على ذلك
“Sesungguhnya amalan pertama seorang hamba yang akan diadili pada hari kiamat adalah sholat, jika baik sholatnya maka dia telah menang dan selamat, namun jika rusak sholatnya maka dia telah celaka dan merugi. Dan jika kurang (sholat) wajibnya, Allah berfirman, ‘lihatlah apakah hamba-Ku memiliki (sholat) sunnah?’ Maka dengan (sholat) sunnah tersebut disempurnakanlah (sholat) wajibnya, kemudian semua amalan dihisab seperti itu.” (HR. At-Tirmidzi, no. 413, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihul Jami’, no. 2020)
Juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
أول ما يحاسب عليه العبد يوم القيامة الصلاة فإن صلحت صلح سائر عمله وإن فسدت فسد سائر عمله
“Amalan pertama seorang hamba yang akan dihisab pada hari kiamat adalah sholat, jika baik sholatnya maka baik pula seluruh amalannya, namun jika rusak sholatnya maka rusak pula seluruh amalannya.” (HR. Thabrani dalam Al-Aushat, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 376)
Hukum Meninggalkan Sholat
Orang yang meninggalkan sholat ada dua bentuk:
Pertama: Orang yang meninggalkan sholat dan sekaligus mengingkari, membenci atau menentang kewajiban sholat. Bentuk yang pertama ini telah sepakat para Ulama akan kafirnya orang tersebut, bahkan meskipun dia melaksanakan sholat secara lahirnya, namun jika batinnya mengingkari, membenci atau menentang kewajiban sholat, orang tersebut tetaplah kafir, kecuali orang yang baru masuk Islam yang belum mengerti dengan kewajiban sholat.
Kedua: Orang yang meninggalkan sholat karena lalai atau malas. Bentuk yang kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama akan kekafirannya (lihat Nailul Authar, 1/369).
Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan dalam risalah Hukmu Tarikis Sholah:
Pendapat Al-Imam Ahmad rahimahullah tentang orang yang meninggalkan sholat (dengan segala bentuknya) adalah kafir dan keluar dari agama Islam (murtad), hukumannya adalah dibunuh (karena telah murtad) jika tidak mau bertaubat dan melaksanakan sholat kembali.
Adapun pendapat Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumullah tentang orang yang meninggalkan sholat adalah fasik (pelaku dosa besar) dan tidak sampai kafir.
Kemudian mereka berbeda pendapat tentang hukumannya; pendapat Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i bahwa hukumannya adalah dibunuh sebagai had (bukan karena murtad, tapi hanya seperti hukumannya pezina yang pernah menikah). Sedangkan pendapat Al-Imam Abu Hanifah hukumannya terserah kepada hakim dan tidak sampai dibunuh.
Lalu Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menguatkan pendapat Al-Imam Ahmad, yaitu kafirnya orang yang meninggalkan sholat dengan segala bentuknya, berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta pendapat para sahabatradhiyallahu’anhum.
Diantaranya firman Allah Ta’ala:
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (At-Taubah: 11)
Sisi pendalilannya adalah, dalam ayat ini Allah Ta’ala menjadikan sholat sebagai syarat ukhuwah dalam agama, jika seorang meninggalkan sholat maka dia bukan saudara seagama karena dia telah kafir.
Adapun dalil dari as-Sunnah, sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
إن بين الرجل وبين الشرك، والكفر، ترك الصلاة
“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan sholat.” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu‘anhuma)
Juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة، فمن تركها فقد كفر
“Perjanjian antara kami dengan mereka adalah sholat, barangsiapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2621, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albanidalam Al-Misykah, no. 574)
Seorang tabi’in yang mulia, Abdullah bin Syaqiq rahimahullah berkata:
كان أصحاب محمد صلى الله عليه و سلم لا يرون شيئا من الأعمال تركه كفر غير الصلاة
“Dahulu para Sahabat Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam tidak melihat suatu amalan yang apabila ditinggalkan merupakan kekafiran, kecuali sholat.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2622, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 565)
Pertama: Orang yang meninggalkan sholat dan sekaligus mengingkari, membenci atau menentang kewajiban sholat. Bentuk yang pertama ini telah sepakat para Ulama akan kafirnya orang tersebut, bahkan meskipun dia melaksanakan sholat secara lahirnya, namun jika batinnya mengingkari, membenci atau menentang kewajiban sholat, orang tersebut tetaplah kafir, kecuali orang yang baru masuk Islam yang belum mengerti dengan kewajiban sholat.
Kedua: Orang yang meninggalkan sholat karena lalai atau malas. Bentuk yang kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama akan kekafirannya (lihat Nailul Authar, 1/369).
Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan dalam risalah Hukmu Tarikis Sholah:
Pendapat Al-Imam Ahmad rahimahullah tentang orang yang meninggalkan sholat (dengan segala bentuknya) adalah kafir dan keluar dari agama Islam (murtad), hukumannya adalah dibunuh (karena telah murtad) jika tidak mau bertaubat dan melaksanakan sholat kembali.
Adapun pendapat Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumullah tentang orang yang meninggalkan sholat adalah fasik (pelaku dosa besar) dan tidak sampai kafir.
Kemudian mereka berbeda pendapat tentang hukumannya; pendapat Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i bahwa hukumannya adalah dibunuh sebagai had (bukan karena murtad, tapi hanya seperti hukumannya pezina yang pernah menikah). Sedangkan pendapat Al-Imam Abu Hanifah hukumannya terserah kepada hakim dan tidak sampai dibunuh.
Lalu Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menguatkan pendapat Al-Imam Ahmad, yaitu kafirnya orang yang meninggalkan sholat dengan segala bentuknya, berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta pendapat para sahabatradhiyallahu’anhum.
Diantaranya firman Allah Ta’ala:
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (At-Taubah: 11)
Sisi pendalilannya adalah, dalam ayat ini Allah Ta’ala menjadikan sholat sebagai syarat ukhuwah dalam agama, jika seorang meninggalkan sholat maka dia bukan saudara seagama karena dia telah kafir.
Adapun dalil dari as-Sunnah, sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
إن بين الرجل وبين الشرك، والكفر، ترك الصلاة
“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan sholat.” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu‘anhuma)
Juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة، فمن تركها فقد كفر
“Perjanjian antara kami dengan mereka adalah sholat, barangsiapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2621, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albanidalam Al-Misykah, no. 574)
Seorang tabi’in yang mulia, Abdullah bin Syaqiq rahimahullah berkata:
كان أصحاب محمد صلى الله عليه و سلم لا يرون شيئا من الأعمال تركه كفر غير الصلاة
“Dahulu para Sahabat Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam tidak melihat suatu amalan yang apabila ditinggalkan merupakan kekafiran, kecuali sholat.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2622, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 565)
Hukum Sholat Jama’ah
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah juga
menjelaskan bahwa para ulama telah sepakat akan disyari’atkannya sholat
jama’ah, namun mereka berbeda pendapat tentang hukumnya menjadi empat
pendapat:
Pertama: Fardhu ‘ain.Kedua: Fadhu kifayah.Ketiga: Sunnah mu’akkadah.Keempat: Syarat sahnya sholat.
Kemudian beliau menguatkan bahwa yang benar adalah pendapat pertama, yaitu hukum sholat jama’ah (bagi laki-laki) adalah fardhu ‘ain, barangsiapa yang meninggalkannya dengan sengaja maka dia berdosa namun sholatnya tetap sah. Setelah itu beliau menjelaskan kelemahan pendapat yang lainnya (lihat Asy-Syarhul Mumti’, 4/59).
Adapun dalil-dalil wajibnya sholat jama’ah dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan amalan para sahabat radhiyallahu’anhum .
Dalil dari al-Qur’an, diantaranya firman Allah Ta’ala:
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةٌ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُواْ فَلْيَكُونُواْ مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّواْ فَلْيُصَلُّواْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan sholat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (sholat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) telah sujud (telah selesai sholat), maka hendaklah datang golongan yang kedua yang belum sholat, lalu sholatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.” (An-Nisa’: 102)
Ayat ini menjelaskan tentang tata cara sholat ketika perang, yaitu sholat khauf (dalam keadaan takut). Allah Ta’ala memerintahkan sholat berjama’ah meski dalam keadaan khauf, sedang ‘perintah’ hukum asalnya adalah ‘wajib’ dan ia tetap pada hukum asal tersebut selama tidak ada dalil yang memalingkan dari hukum asalnya.
Dalil dari As-Sunnah, diantaranya:
عن ابن أم مكتوم – رضي الله عنه- أنه سأل النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، إني رجل ضرير البصر، شاسع الدار، ولي قائد لا يلائمني، فهل لي رخصة أن أصلي في بيتي؟ قال: هل تسمع النداء؟ قال: نعم، قال: لا أجد لك رخصة
Dari Abdullah bin Ummi Maktum radiyallahu’anhu bahwasannya beliau bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku seorang lelaki buta, rumahku jauh (dari masjid) dan penuntunku tidak selalu menemaniku, apakah ada keringanan bagiku untuk sholat di rumahku?” Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan, “Apakah kamu mendengar adzan”, dia menjawab “Ya”. Beliau bersabda, “Saya tidak mendapati keringanan untukmu.” (HR. Abu Daud, no. 552, dishahihkanAsy-Syaikh Al-Albani dalam Shohih Abi Daud, no. 561)
Dari atsar sahabat:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّى هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِى بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِى الصَّفِّ
Dari Abdullah bin Mas’ud radiyallahu’anhu beliau berkata, “Barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Allah besok (hari kiamat) dalam keadaan muslim maka hendaklah dia menjaga sholat lima waktu dengan melaksanakannya di tempat dikumandangkan adzan, karena sesungguhnya Allah telah mensyari’atkan kepada Nabi kalian shallallahu’alaihi wa sallam jalan-jalan hidayah, sedang sholat lima waktu berjama’ah adalah termasuk jalan-jalan hidayah tersebut. Dan seandainya kalian sholat di rumah-rumah kalian -sebagaimana sholatnya orang yang meninggalkan ini di rumahnya-, maka sungguh kalian telah meninggalkan petunjuk Nabi kalian shallallahu’alaihi wa sallam, sedang jika kalian meninggalkan petunjuk Nabi kalian shallallahu’alaihi wa sallam maka kalian pasti tersesat. Dan tidaklah ada seorang bersuci dengan baik, kemudian dia bermaksud ke masjid kecuali Allah menuliskan baginya pada setiap langkahnya satu kebaikan, mengangkat satu derajatnya dan menghapus satu kesalahannya (dengan setiap satu langkahnya). Dan sungguh aku melihat kami (para sahabat), tidaklah ada yang meninggalkan sholat jama’ah kecuali (kami menganggapnya) seorang munafik yang jelas kemunafikannya, bahkan dahulu seorang (sahabat yang sakit) didatangkan (ke masjid) dengan dibopong oleh dua orang sampai diberdirikan ke dalam shaf.” (HR. Muslim, no. 1520)
Adapun bagi wanita maka hukumnya boleh sholat jama’ah di masjid (tentu dengan syarat memperhatikan adab-adab Islami), namun sholatnya wanita di rumahnya itu lebih baik (lihat Asy-Syarhul Mumti’, 4/60).
Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
لا تمنعوا نساءكم المساجد و بيوتهن خير لهن
“Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian mendatangi masjid-masjid (untuk sholat), dan (sholatnya mereka) di rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” (HR. Al-Hakim, no. 755, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihul Jami’, no. 7458)
Demikianlah penjelasan ringkas seputar pentingnya sholat dalam kehidupan seorang muslim, semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada kita kemampuan untuk selalu mengamalkannya dalam keadaan bagaimanapun juga.
Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal Muwaffiq.
Pertama: Fardhu ‘ain.Kedua: Fadhu kifayah.Ketiga: Sunnah mu’akkadah.Keempat: Syarat sahnya sholat.
Kemudian beliau menguatkan bahwa yang benar adalah pendapat pertama, yaitu hukum sholat jama’ah (bagi laki-laki) adalah fardhu ‘ain, barangsiapa yang meninggalkannya dengan sengaja maka dia berdosa namun sholatnya tetap sah. Setelah itu beliau menjelaskan kelemahan pendapat yang lainnya (lihat Asy-Syarhul Mumti’, 4/59).
Adapun dalil-dalil wajibnya sholat jama’ah dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan amalan para sahabat radhiyallahu’anhum .
Dalil dari al-Qur’an, diantaranya firman Allah Ta’ala:
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةٌ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُواْ فَلْيَكُونُواْ مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّواْ فَلْيُصَلُّواْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan sholat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (sholat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) telah sujud (telah selesai sholat), maka hendaklah datang golongan yang kedua yang belum sholat, lalu sholatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.” (An-Nisa’: 102)
Ayat ini menjelaskan tentang tata cara sholat ketika perang, yaitu sholat khauf (dalam keadaan takut). Allah Ta’ala memerintahkan sholat berjama’ah meski dalam keadaan khauf, sedang ‘perintah’ hukum asalnya adalah ‘wajib’ dan ia tetap pada hukum asal tersebut selama tidak ada dalil yang memalingkan dari hukum asalnya.
Dalil dari As-Sunnah, diantaranya:
عن ابن أم مكتوم – رضي الله عنه- أنه سأل النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، إني رجل ضرير البصر، شاسع الدار، ولي قائد لا يلائمني، فهل لي رخصة أن أصلي في بيتي؟ قال: هل تسمع النداء؟ قال: نعم، قال: لا أجد لك رخصة
Dari Abdullah bin Ummi Maktum radiyallahu’anhu bahwasannya beliau bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku seorang lelaki buta, rumahku jauh (dari masjid) dan penuntunku tidak selalu menemaniku, apakah ada keringanan bagiku untuk sholat di rumahku?” Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan, “Apakah kamu mendengar adzan”, dia menjawab “Ya”. Beliau bersabda, “Saya tidak mendapati keringanan untukmu.” (HR. Abu Daud, no. 552, dishahihkanAsy-Syaikh Al-Albani dalam Shohih Abi Daud, no. 561)
Dari atsar sahabat:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّى هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِى بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِى الصَّفِّ
Dari Abdullah bin Mas’ud radiyallahu’anhu beliau berkata, “Barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Allah besok (hari kiamat) dalam keadaan muslim maka hendaklah dia menjaga sholat lima waktu dengan melaksanakannya di tempat dikumandangkan adzan, karena sesungguhnya Allah telah mensyari’atkan kepada Nabi kalian shallallahu’alaihi wa sallam jalan-jalan hidayah, sedang sholat lima waktu berjama’ah adalah termasuk jalan-jalan hidayah tersebut. Dan seandainya kalian sholat di rumah-rumah kalian -sebagaimana sholatnya orang yang meninggalkan ini di rumahnya-, maka sungguh kalian telah meninggalkan petunjuk Nabi kalian shallallahu’alaihi wa sallam, sedang jika kalian meninggalkan petunjuk Nabi kalian shallallahu’alaihi wa sallam maka kalian pasti tersesat. Dan tidaklah ada seorang bersuci dengan baik, kemudian dia bermaksud ke masjid kecuali Allah menuliskan baginya pada setiap langkahnya satu kebaikan, mengangkat satu derajatnya dan menghapus satu kesalahannya (dengan setiap satu langkahnya). Dan sungguh aku melihat kami (para sahabat), tidaklah ada yang meninggalkan sholat jama’ah kecuali (kami menganggapnya) seorang munafik yang jelas kemunafikannya, bahkan dahulu seorang (sahabat yang sakit) didatangkan (ke masjid) dengan dibopong oleh dua orang sampai diberdirikan ke dalam shaf.” (HR. Muslim, no. 1520)
Adapun bagi wanita maka hukumnya boleh sholat jama’ah di masjid (tentu dengan syarat memperhatikan adab-adab Islami), namun sholatnya wanita di rumahnya itu lebih baik (lihat Asy-Syarhul Mumti’, 4/60).
Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
لا تمنعوا نساءكم المساجد و بيوتهن خير لهن
“Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian mendatangi masjid-masjid (untuk sholat), dan (sholatnya mereka) di rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” (HR. Al-Hakim, no. 755, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihul Jami’, no. 7458)
Demikianlah penjelasan ringkas seputar pentingnya sholat dalam kehidupan seorang muslim, semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada kita kemampuan untuk selalu mengamalkannya dalam keadaan bagaimanapun juga.
Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal Muwaffiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar